Selasa, 01 November 2016

Batik Lasem: Pak Lurah itu Jadi “Juragan” Batik




SETELAH PENSIUN sebagai Kepala Desa, Rifai tak memiliki pekerjaan. Saat itulah dia bertemu maestro batik Lasem, Naomi Susilowati Setiono. Kini, dengan mengusung label “Batik Tulis Ningrat”, nama Rifai dikenal di kalangan pecinta batik tulis Lasem.

Delapan tahun lalu, 2008, Rifai adalah mantan Kepala Desa (Kades) yang “pengangguran”. Dia menjalani hari-harinya nyaris tanpa kegiatan yang berarti. Sedikitpun tak terlintas dalam pikirannya untuk menekuni usaha batik. Apalagi, karena dia memang tidak memiliki latar belakang usaha perbatikan.

Berkat jalan Tuhan-lah yang kemudian mempertemukan dirinya dengan Naomi Susilowati Setiono, pemilik Batik Tulis Laseman “Maranatha”. Kala itu, keinginan Rifai jauh dari kata muluk. Dia hanya ingin berusaha untuk memenuhi kebutuhan nafkah bagi keluarganya.

Pekerjaan sebagai penjual kain batik Lasem pun dilakoninya. Dari hanya menjual selembar kain batik, usaha Rifai perlahan mengalami peningkatan. Melalui Naomi pula Rifai berkesempatan belajar membatik dan membuat desain motif batik. “Kebetulan, saat itu Bu Naomi gencar melakukan pengaderan karena SDM di industri batik Lasem sangat terbatas,” ujar Rifai.

Hal itu pula yang mendorong motivasi Rifai untuk serius terjun di dunia batik. Dia mengaku tak ingin hanya sekadar menjadi pedagang. Motivasi yang kuat sejalan dengan semangat untuk maju mendorong Rifai menggali ilmu tentang membatik dari mana saja, bahkan dari para pegawainya. “Umumnya pegawai saya adalah para pembatik mahir yang telah berpengalaman dan pernah bekerja pada pengusaha batik lain,” tambahnya.

Pamor batik Lasem yang kalah bersaing dengan batik dari daerah lain seperti Pekalongan, Yogyakarta dan Solo membuat banyak pabrik batik di Kecamatan Lasem (Kabupaten Rembang, Jawa Tengah) gulung tikar dan hanya menyisakan para pembatik andal. Para pembatik itu umumnya memperoleh pengetahuan secara turun-temurun. Kebanyakan dari mereka menjadikan pekerjaan membatik sebagai aktivitas sampingan di luar kegiatan utamanya sebagai petani.

Ibarat pisau yang kian tajam karena terasah. Rifai pun kian mahir dalam mendesain motif batik. Dia terus membangun dan mengembangkan imajinasinya dalam penciptaan desain-desain baru dengan warna-warna yang disukai selera konsumen, tanpa meninggalkan pakem yang ada. Jika siang hari waktunya dihabiskan untuk mengelola pabrik dan pemasaran produk batiknya, maka malam hari digunakan untuk membuat desain. Salah satu desain karyanya, yakni motif Tiga Negeri, berhasil masuk 10 besar desain batik tulis terbaik dalam Lomba Cipta Seni Batik Nusantara 2012.

Motif Tiga Negeri menampilkan perpaduan budaya China dan Jawa, yaitu motif burung Hong dan bunga Peony (China) yang dipercantik dengan ornamen isian Sekar Jagad. Batik Tiga Negeri menggunakan tiga warna berbeda, yaitu merah, biru, dan soga (kecoklatan).

Selain Tiga Negeri, koleksi motif batik di showroom Batik Tulis “Ningrat” milik Rifai, didominasi oleh motif-motif batik Laseman pada umumnya, yakni motif burung Hong, bunga Peony, Teratai, Watu Pecah atau Watu Krecak, Liong, Kawung, Gunung Ringgit, dan Parangan. Hanya saja, dari sisi pewarnaan, desain batik tulis “Ningrat” sedikit berbeda dengan batik Laseman umumnya, yakni menggunakan warna-warna yang lebih terang.


Sebagai mantan Kades, nama Rifai cukup dikenal. Karena itu, tak sulit baginya menembus birokrasi guna memasarkan produknya melalui jalur UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Pasar yang kian terbuka mendorong tekad Rifai memproduksi sendiri batik jualannya. Sebab itu, dia akhirnya mengubah dapur dan halaman rumah orangtuanya di Desa Pohlandak, Lasem, sebagai area produksi. Di bawah bendera batik tulis “Ningrat”, usaha batik Rifai pun terus berkibar.

Usaha batik Rifai yang kian maju, tak bisa lagi mengandalkan lahan pekarangan rumah orangtuanya. Karena itu, dia pindahkan workshopnya ke daerah Sumbergirang. Di tempat baru itu, usaha batik tulis Lasem milik Rifai didukung oleh 50-an orang pembatik yang bekerja sebagai tenaga harian. Dari tangan lihai mereka, dalam sebulan Batik Ningrat mampu memproduksi 2.000-3.000 lembar kain batik tulis. Kain-kain batik itu dipasarkan bervariasi antara Rp150.000 hingga Rp3 juta.

Geliat bisnis batik tulis Ningrat yang kian mekar rupanya mendapat dukungan dari banyak kalangan. Antara lain bantuan pemodalan dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat serta bantuan manajemen pengelolaan limbah dari pemerintah melalui program IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah). Dengan IPAL, limbah yang dihasilkan dalam proses produksi batik Ningrat tidak merusak lingkungan sekitar.

Keberhasilan Rifai mengembangkan usaha batik Lasem dengan sendirinya membuka lapangan pekerjaan bagi banyak warga di kampungnya. Kini, dia pun berganti predikat. Jika sebelumnya dikenal sebagai Kades, sekarang adalah pengusaha batik Lasem. Para pengusaha batik Lasem yang tergabung dalam Kluster Batik Lasem yang beranggotakan 60 pengusaha batik di Lasem bersepakat mengangkatnya sebagai Ketua, menggantikan Naomi Susilowati yang meninggal tahun 2010.

Workshop Batik Tulis Ningrat di Sumbergirang, kerap dikunjungi tamu yang ingin mengetahui proses pembuatan batik. Tentu saja mereka sekalian berbelanja. Toh, meski sering mendapat tamu dari luar negeri, Rifai belum berniat untuk memasarkan produknya hingga luar negeri. “Saat ini animo pasar dalam negeri saja sudah lebih baik, terlebih karena sekarang ini batik tidak terbatas digunakan hanya sebagai pakaian kondangan,” tuturnya.

Peningkatan minat masyarakat itu cukup membuat Rifai kewalahan melayani permintaan. Dari dalam negeri, permintaan pelanggan biasanya datang dari Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali, dan Sulawesi. Sedangkan dari luar negeri biasanya diperoleh melalui pihak kedua atau ketiga. Permintaan juga datang dari para pelanggan karena mereka mengetahui produk saya setelah saya membuka pemasaran via online. Bapak tiga anak ini yakin akan pertumbuhan pasar batik tulis Lasem pada masa mendatang.

Rifai sudah berbulat tekad untuk menghabiskan sisa usianya dalam dunia batik. Dia tak berniat memproduksi batik secara massal dengan memproduki batik cap atau print. “Batik itu bukan cuma untuk mencari nafkah, tapi saya ingin membantu perekonomian warga masyarakat Lasem. Dengan batik, saya ingin mengenalkan Lasem kepada masyarakat dunia," tekadnya. ***

Minggu, 09 Oktober 2016

Kaliabu, "Kampung Brem" Binaan INKA

Kaliabu, "Kampung Brem" Binaan INKA

BRI

BRI sebagai salah satu sumber pembiayaan yang "menguntungkan" bagi kalangan UKMK-Koperasi.

Cihampelas:

Cihampelas, Bandung (Jawa Barat) ...............

Tanggulangin: Aneka Produk Kulit

Tanggulangin, Sidorajo (Jawa Timur): Aneka Produk Kulit

Madiun: Makanan Khas Brem




BREM adalah jenis makanan yang berasal dari sari ketan yang dimasak dan dikeringkan, merupakan hasil dari fermentasi ketan hitam yang diambil sarinya saja yang kemudian diendapkan dalam waktu sekitar sehari semalam.


Sensasi makanan ini muncul ketika makanan dimasukkan ke dalam mulut akan langsung mencair dan lenyap meninggalkan rasa 'semriwing' di lidah.
Dikenal beberapa bentuk brem yang dikenal di pasaran, berupa makanan dan minuman. Brem berupa makanan terkenal dari Madiun, sedangkan yang berupa cairan (minuman) berasal dari pulau Bali dan Nusa Tenggara.

Bentuk pertama yang lebih dulu dikenal adalah makanan tradisional khas yang berasal dari kecamatan Caruban, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Umumnya berasal dari dua desa penghasil, yaitu Kaliabu dan Bancong. Brem dikemas berbentuk lempengan agak kekuningan, rata-rata berukuran kurang lebih 15 cm x 5 cm x 0,5 cm. Untuk lebih memaksimalkan pemasarannya, brem kini juga dikemas dalam bentuk kecil-kecil seukuran permen, sehingga mudah untuk dikantongi.

Brem ini didominasi oleh rasa manis dan sedikit keasaman yang sangat khas. Selain itu yang menjadi keunikan dari Brem ini adalah walau merupakan makanan kering, namun saat kita memakannya akan terasa seperti mencair di mulut dan meninggalkan rasa dingin di lidah kita, sehingga akan menimbulkan sensasi tersendiri saat menikmati makanan satu ini.

Sebenarnya, tidak terlalu jauh dari Madiun, atau tepatnya di daerah Wonogiri, di bagian selatan Surakarta (Solo), Jawa Tengah, juga ada makanan sejenis Brem. Berbentuk lempeng pipih bundar dengan diameter rata-rata 5 cm dan ketebalan sekitar 0,3 cm. Brem asal Wonogiri berwarna putih dan proses pengeringannya melalui dijemur langsung dibawah panas terik matahari selama tiga hari.

Selain itu ada juga Brem yang berbentuk cair berasal dari Bali dan Nusa Tenggara, brem asal bali berwarna putih seperti susu sedangkan yang berasal dari Nusa Tenggara berwarna merah. ***